- Home >
- Katholik
Posted by : Unknown
Senin, 26 September 2016
Dari editor Katolisitas:
Pendidikan di sekolah Katolik: Apakah definisi dan tujuannya?
Sebenarnya, definisi pendidikan di sekolah Katolik adalah sederhana, yaitu pendidikan dan pengajaran sekolah yang didasarkan oleh iman Katolik sebagaimana diajarkan oleh Gereja Katolik. Artinya, iman Katolik-lah yang mendasari segala aspek pendidikan, dari mulai guru-guru/ staf pengajar, kurikulum, lingkungan belajar, cara disiplin, peraturan-peraturan sekolah, dan hal-hal lainnya. Dengan kata lain, sekolah Katolik menjadi lingkungan yang sungguh Katolik, sehingga menjadi tempat yang kondusif bagi anak-anak untuk mengenal dan mengasihi iman Katolik, serta bertumbuh di dalamnya.
Apa yang membedakan antara pengajaran secara umum dengan pengajaran/ pendidikan Katolik?
Secara umum, proses pengajaran dipahami sebagai proses penyaluran informasi dari guru kepada muridnya. Namun pendidikan Katolik tidak hanya terbatas kepada penyaluran informasi dari guru kepada murid. Pendidikan Katolik tidak hanya mencakup pengajaran dan pembekalan akal budi ataupun pemikiran seorang anak dengan informasi yang sebanyak-banyaknya. Sebab di samping membekali murid dengan ilmu pengetahuan, pendidikan Katolik juga membekali, membangun, dan membentuk iman dan spiritualitasnya. Iman dan spiritualitas ini tidak saja mencakup pengajaran agama secara teoritis, tetapi juga pembentukan watak, karakter dan moralitas tiap-tiap murid.
Untuk pendidikan spiritual inilah, kita kembali mengingat akan apa hakekat kita sebagai manusia yang diciptakan Allah. Secara sempurna, manusia diciptakan Tuhan sebagai ciptaan yang spiritual atau mahluk rohani. Inilah yang membuat kita berbeda dengan mahluk ciptaan lainnya. Tidak saja kita memiliki akal budi, perasaan, dan hati nurani; kitapun diberikan anugerah yang termulia untuk bisa menjalin hubungan yang khusus dengan Allah Sang Pencipta. Tuhan menciptakan kita manusia supaya kita bisa menjalin hubungan yang akrab denganNya. Allah memanggil kita untuk menjadi kudus, seperti para Santo dan Santa di surga. Ya, kita semua dipanggil untuk menjadi serupa seperti Kristus.
Maka, tujuan utama kita hidup di dunia ini adalah untuk hidup kudus.[1] Tuhan memberikan kepada kita anugerah untuk bisa mencari Dia, mengenal Dia lebih lanjut, menjalin hubungan denganNya melalui doa, renungan harian, sakramen, dan mencintai Dia dengan segenap akal budi, hati nurani, dan keberadaan kita di dunia. Yesus katakan di dalam hukum cinta kasih: “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Mrk 12:30) Oleh karena itu, segala yang kita miliki: kepandaian, akal budi, keberadaan, hati nurani dan iman kepercayaan- segala yang ada pada kita, selayaknya kita arahkan kepada Tuhan. Semuanya itu adalah untuk digunakan sebagai sarana untuk mengenal Allah, mencintai Dia, dan mendekatkan diri kita kepada-Nya. Dengan tujuan hidup yang berpusat kepada Tuhan inilah, kita akan dikuduskan sesuai dengan gambaran dan rupa Allah, agar dapat bertemu denganNya kembali di Surga. Dengan pengertian tersebut, pendidikan menurut iman Kristiani adalah pendidikan yang tidak hanya berpusat kepada penyempurnaan akal budi manusia, tetapi juga penyempurnaan hati nurani, moralitas, karakter pribadi, dan iman kepercayaannya. Pendidikan yang seperti inilah yang menjadi tujuan sekaligus ciri khas pendidikan Katolik.
Apa yang membedakan pendidikan Katolik dari pendidikan Kristen non-Katolik?
Pendidikan Katolik berbeda dari pendidikan Kristen non-Katolik, karena pendidikan Katolik juga mengikutsertakan peran Gereja Katolik di dalam pembangunan dan pembentukan karakter seseorang anak. Peran Gereja sangat penting, karena Gereja sudah dipercayakan oleh Kristus sendiri untuk menggembalakan umat-Nya agar dapat mencapai Surga. Melalui sakramen-sakramen kudus, Kitab Suci, devosi kudus (seperti rosario, doa-doa, litani, renungan harian), pengajaran ataupun penghayatan akan kehidupan para santo/santa, dan banyak tradisi Gereja lainnya; seorang anak diajar, dibimbing, diarahkan, dan dibentuk hati nurani-nya, karakternya, dan iman kepercayaannya untuk menjadi seseorang yang kudus.
Sebagai contohnya, kalau seorang anak tidak mau menurut kepada gurunya, berbuat salah dan tidak mau mengerjakan pekerjaan sekolah sebagaimana semestinya, anak tersebut akan ditegur dan diperingati oleh gurunya. Dia akan dihadapkan kepada dua pilihan : kembali menjadi anak benar, atau terus menjadi anak nakal. Karena Kristus mengajar kita untuk kembali ke jalan yang benar, maka di dalam hati nuraninya, umumnya anak tersebut akan terpanggil dan tergerak untuk menjadi anak yang baik kembali. Gereja Katolik berperan dalam hal ini, dengan memberikan dia kesempatan untuk menerima sakramen Pengakuan Dosa dan menerima sakramen Ekaristi kudus. Dengan cara dan kesempatan ini, anak tersebut dibantu oleh karunia Roh Kudus, agar terus tergerak untuk kembali ke jalan yang benar dan menjadi murid yang baik kembali. Motivasi-nya adalah bukan saja untuk mempunyai nilai yang baik, dan menjadi anak yang bertanggung jawab, tetapi juga untuk menyenangkan hati Tuhan dan orang tuanya. Dengan proses sedemikian, anak tersebut akan menjadi lebih dekat dengan Tuhan, dan karenanya lebih kudus.
Dengan demikian, alangkah baiknya kalau sekolah Katolik dihubungkan dengan Gereja Katolik di sekitarnya. Sekolah Katolik selayaknya memberikan kesempatan beberapa kali seminggu (misalnya : satu ataupun dua kali) bagi murid-muridnya untuk mengikuti perayaan Ekaristi di pagi hari. Anak-anak perlu didorong dan diberi kesempatan yang rutin untuk menerima sakramen Pengakuan Dosa, melakukan devosi bersama seperti Rosario, Kerahiman Ilahi, Jalan Salib, Litani kepada para Orang Kudus, dan Adorasi Sakramen Mahakudus.
Secara garis besar, kurikulum yang bagaimana yang harus diterapkan di sekolah Katolik ?
Kurikulum yang baik harus disesuaikan dengan ajaran iman Katolik. Sesuai dengan tujuan dan misi dari sekolah Katolik, kurikulum ini harus membantu membina akal budi, iman, dan karakter seorang anak secara maksimal, sesuai dengan keberadaan mereka masing-masing sebagai ciptaan Tuhan yang unik. Kurikulum yang dipakai harus bisa membangun keberadaan seorang anak secara menyeluruh, membangun keseluruhan pribadi anak, baik tubuh maupun jiwa, termasuk pikiran/ akal budi dan hati nurani. Semua mata pelajaran yang diterapkan selayaknya disampaikan dari perspektif dan sudut pandang Gereja Katolik. Ini bukan berarti bahwa kurikulum hanya dipenuhi dengan pelajaran agama Katolik sepanjang hari. Tetapi ajaran Kristiani harus menjadi fokus utama dalam menganalisa semua pelajaran yang diberikan. Dengan kata lain, pelajaran yang diberikan atau buku-buku yang dipakai harus selaras dan tidak bertentangan dengan ajaran iman Katolik. Sebagai contohnya : pemilihan buku-buku bacaan di dalam kelas adalah buku-buku yang menyampaikan ajaran moralitas yang baik, yang menyampaikan unsur-unsur kebenaran dan kekudusan. Maka kalau kita dihadapkan kepada pilihan antara buku : “Chronicles of Narnia: the Lion, the Witch, and the Wardrobe”, atau “Harry Potter”, sekolah Katolik seharusnya memilih buku “Chronicles of Narnia”. Alasannya adalah karena buku “Chronicles of Narnia” lebih jelas menerapkan ajaran Kristiani, yang mengutamakan unsur persahabatan, pengorbanan dan perjuangan teguh dalam melawan kejahatan, dan pada akhirnya iblis akan dikalahkan dengan iman dan kebenaran, heroisme, dan unsur-unsur kebaikan lainnya. Tokoh karakter utamanya pun adalah orang biasa yang berjuang dengan motivasi menegakkan kebenaran. Juga tokoh singa ‘Ashland’ menyerupai gambaran Kristus Sang Penyelamat. Sedangkan kisah Harry Potter, tokoh utamanya adalah seorang anak yang mempunyai kepandaian sebagai penyihir dengan kuasa kegelapan, yang dapat melakukan banyak trik penyihir yang ajaib. Kalau dibanding dengan seksama, buku manakah di antara kedua buku itu yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Kristiani? Tentu saja buku “Chronicles of Narnia”!
Kurikulum yang baik juga membantu anak-anak untuk bisa berpikir sendiri, yang dilandasi oleh prinsip Kristiani. Kurikulum yang baik juga harus dapat memotivasi seorang anak untuk menyukai proses belajar (‘to know how to learn, and to love learning’). Karenanya, kurikulum yang benar tidak hanya memberikan mereka dasar cara belajar yang baik, tetapi juga memberikan dasar prinsip yang kuat dalam membaca, menulis, matematika, dan iman Katolik. Dari dasar yang kuat inilah, pelajaran berikutnya akan terus disusun di atasnya. Pelajaran-pelajaran lain, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam, musik, seni rupa, dll; bertolak dari empat pelajaran utama tersebut.